KETIDAK ADILAN HUKUM DI INDONESIA
Kasus BLBI telah berjalan lebih kurang selama 10 tahun sejak
krisis moneter tahun 1997/1998.
Langkah penegakan hukum yang
dilakukan mengakibatkan pengambil kebijakan pengucuran Bantuan
Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dijatuhi hukuman. Sementara dua direksi
lain di-SP3-kan (surat perintah penghentian penyidikan) Kejaksaan Agung
(Kejagung) dan sejumlah penerima BLBI dihukum
Pemerintah menetapkan kebijakan
hukum dan menggunakan UU No 25/2000 tentang Propenas dan payung politik
Tap MPR untuk penyelesaian di luar pengadilan, diikuti Inpres No 8/2002
yang mengesahkan MSAA, MRNIA, APU, dan SKL.
Konsekuensi dari Inpres itu
adalah dihentikannya penyidikan kasus BLBI oleh Kejagung. Namun,
penghentian itu tidak merujuk pada ketentuan KUHAP atau UU Kejaksaan.
Surat keterangan lunas (SKL)
terhadap obligor yang diharapkan kooperatif (melunasi kewajibannya)
tidak memberi hasil maksimal bagi kepentingan negara. Putusan Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan pada 6 Mei 2008, membatalkan SP-3 Kejagung yang
telah dikeluarkan atas nama kasus SYN (BDNI) bertanggal 14 Juni tahun
2004, merupakan bukti bahwa payung hukum itu tidak memenuhi asas
kepastian hukum dan belum berpihak pada kepentingan masyarakat luas.
Sementara pengembalian atas kerugian negara tidak mencapai 10 persen
dari total dana BLBI yang telah disalurkan.
Menimbulkan ketidakadilan
Kepastian hukum dan keadilan
dalam kebijakan hukum yang diambil pemerintah telah menimbulkan
ketidakadilan bagi sebagian tersangka/terdakwa serta masyarakat luas,
bahkan tampak diskriminatif. Contoh nyata, mengapa obligor SYN dalam
kasus BDNI masih diberi kebebasan untuk ”buron” ke luar negeri dengan
alasan kesehatan dan mendapat izin Jaksa Agung, sedangkan
tersangka/terdakwa lain tidak diberi perlakuan sama dan tetap dikenakan
penahanan serta dituntut secara pidana.
Tertangkapnya UTG dengan uang
sekitar Rp 6 miliar dari Art tiga hari setelah diumumkan bahwa Kejagung
tidak menemukan unsur melawan hukum dalam kasus BDNI (SYN); dua kali
keterangan Glenn Yusuf (mantan Kepala BPPN) di hadapan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) yang mengakui adanya suap dalam kasus BLBI;
serta rekaman percakapan UTG dan Art, KyR dan Art, UUS dan Art yang
dibuka dalam persidangan terdakwa Art ditambah rencana penangkapan Art
oleh Kejagung dengan sepengetahuan Jaksa Agung membuktikan bahwa
penegakan hukum kasus BLBI telah menciptakan miscarriage of justice.
Ini merupakan skandal besar kedua
dalam sejarah penegakan hukum di Indonesia setelah kasus dana BI.
Rencana penangkapan Art oleh Kejagung juga melanggar Pasal 50 UU KPK
(2002) yang tegas melarang kejaksaan atau kepolisian melakukan langkah
hukum saat KPK sudah menangani kasus korupsi itu.
Inisiatif Kejagung memeriksa
keterlibatan petinggi Kejagung dalam kasus UTG tidak dapat menghapus
citra negatif masyarakat. Maka, KPK seharusnya dapat mengambil alih
kasus BLBI dari Kejagung dan memeriksa petinggi Kejagung tersebut.
Analisis kasus BLBI
Masyarakat Hukum Pidana dan
Kriminologi Indonesia telah menganalisis kasus BLBI. Kesimpulannya,
pertama, kasus BLBI sarat muatan korupsi. Kedua, KPK dapat mengambil
alih kasus BLBI dari Kejagung.
Kasus BLBI, terutama pasca-Inpres
No 8/2002, merupakan tindak pidana korupsi karena unsur melawan hukum,
memperkaya diri atau orang lain atau korporasi, dan kerugian negara
telah dipenuhi. Penyelesaian di luar pengadilan juga tidak membuahkan
hasil signifikan bagi kepentingan negara. Selain itu, tidak ada iktikad
baik dari penerima BLBI, antara lain nilai jaminan jauh lebih rendah
dari nilai kewajiban yang seharusnya diselesaikan kepada negara dan
tidak kooperatif terhadap pemanggilan Kejagung.
KPK dapat mengambil alih dalam
rangka supervisi (Pasal 9 juncto Pasal 8) dan merujuk Pasal 68 UU No
30/2002 tentang KPK. Tidak ada alasan bahwa KPK tidak dapat mengambil
alih kasus BLBI karena hukum acara pidana Indonesia (Pasal 284 Ayat 1
KUHAP) tegas tidak mengakui asas nonretroaktif sepanjang terkait dengan
kewenangan menyidik dan menuntut perkara sebelum KUHAP terbentuk. Asas
itu diakui dalam proses kriminalisasi suatu perbuatan menjadi tindak
pidana vide Pasal 1 Ayat (1) KUHP.
Wewenang KPK mengambil alih
perkara korupsi yang belum selesai penanganannya tidak bertentangan
dengan UUD 1945 dan Perubahannya karena Pasal 28 I UUD 1945 dan
Perubahannya tidak melarang wewenang retroaktif KPK. Jika ada pendapat
KPK tidak dapat mengambil alih kasus BLBI, jelas mereka tidak memahami
sejarah hukum pidana Indonesia sampai KUHAP diundangkan tahun 1981. Jika
asas nonretroaktif diterapkan pada masalah wewenang, akan terjadi
stagnasi pemerintahan dan kinerja penegakan hukum dari satu periode ke
periode lain.
Berikut Ketidak adilan hukum yang
terjadi juga di Indonesia ini :
Keanehan yang Namanya
“Hukum“
Ada begitu banyak yang masih
menjadi misteri dan PR “sudahkah Indonesia menjadi negara hukum bagi
seluruh rakyatnya?” Dalam berbagai kesempatan di blog, saya menulis
unek-unek suatu kasus dan kondisi dimana saya merasa terjadi
ketidakadilan dalam peristiwa tersebut. Contohnya adalah Keanehan KPU, Buddha Bar, UU ITE dan Pornografi terhadap Situs
Porno, Korupsi Dana DKP pada Pilpres 2004.
Selain tulisan saya diatas, bagaimana Imam Hambali (Kemat) dan David Eko
Prianto yang ditangkap dan dipidana 17 dan 12 tahun penjara serta Maman
Sugianto (Sugik) yang disergap dan didakwa akibat aparat kepolisian
Jombang yang tidak profesional mengungkap kasus pembunuhan Asrori
(dilanjutkan oleh Kejati Jombang).
Berbagai kasus ketidakadilan
rakyat kecil terus terjadi, disisi lain para penguasa dengan
seenak-enaknya dapat melanggar aturan. Saya melihat bahwa kasus Buddha
Bar merupakan salah satu konspirasi terbesar ketimpangan oleh penguasa
dan pengusaha yang dengan enteng menepikan hukum perundangan kita. Bagaimana kasus
korupsi DKP yang hanya menumbalkan terpidana Rokhmin Dahuri. Bagaimana UU ITE
dan Pornografi tidak digunakan untuk melindungi rakyat banyak, tapi
disisi lain hanya menjerat suara rakyat kecil.
Makanya, saya katakan bawah
tidaklah heran jika kita melihat fenomena produk-produk hukum (UU dan
turunannya) di negeri yang dibuat dengan dana miliaran rupiah hanya
untuk menjerat si miskin bertambah miskin dan tidak berdaya. Sedangkan
para penguasa beserta kroninya memiliki akses yang seluas-luasnya dalam
berbagai izin inkonstitusional dan pemanfaatan fasilitas negara.
Dilema Prita Mulyasari
Prita Mulyasari, seorang ibu dari
dua orang anak yang masih kecil harus mendekam dibalik jeruji karena
didakwa atas pelanggaran Pasal 27 ayat 3 Undang-Undang nomor 11 tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Dari pengakuannya, ia
menjadi korban oknum perusahaan RS Omni International Alam
Sutera yang memperlakukan dia bak sapi perahan. Pasien yang
harusnya mendapat prioritas pelayanan kesehatan yang prima, justru
menjadi obyek eksploitasi finansial dan bahkan jika apa yang diungkapkan
oleh ibu Priya Mulyasari dalam email/surat pembaca itu benar , maka
secara insitusi RS Omni Internasional melindungi oknum dokter yang
melakukan mal-praktik. Pihak manajemen RS Omni telah menggunakan
kekuasaan jaringan dan keuangan untuk mendukung perbuatan yang tidak
semestinya.
Prita Dipenjara, tapi Kejahatan
Pornografi?
UU ITE mengatur banyak aspek
dalam dunia internet, mulai dari etika-moral dalam menggunakan internet
hingga transaksi bisnis internet. Perbuatan yang pertama dilarang dalam
UU 11/2008 adalah tindakan penyebaran konten asusila [ditegaskan dalam
UU 44/2008 tentang Pornografi], lalu perjudian (2), pencemaran nama baik
(3), dan pemerasan/ancaman (4), hal-hal berbau SARA dan seterusnya.
Bila kita melihat urutannya, maka semestinya UU ITE yang disahkan pada
April 2008 digunakan untuk membersihkan konten porno dari dunia internet
demi melindungi generasi muda dari degradasi moralitas.
Namun, adakah perubahan berarti
informasi dan industri pornografi via internet di Indonesia sejak
diterbitnya UU ITE April 2008 dan UU Pornografi Oktober 2008 silam?
Bukankah kasus pelanggaran Pasal 27 ayat 1 lebih banyak daripada ayat 3
UU 11/2008? Mengapa pula seorang ibu yang menyampaikan unek-unek menjadi
korban mal praktik perusahaan rumah sakit harus kembali menjadi korban
sementara para oknum rumah sakit berleha-leha? Apakah dengan kekuasaan
jaringan dan finansial, maka manajemen Omni bisa menyewa pengacara
(bahkan jaksa) membuat yang benar jadi salah, salah jadi benar? Mengapa
kepolisian tidak menyelidiki siapa yang menyebarluaskan email private
dari Bu Prita?
Dan mengapa untuk membahas
masalah ini, saya mengangkat isu yang terlalu lebar yakni masalah hukum
secara umum? Karena saya sangat percaya, bahwa kasus Ibu Prita, Rokhmin
Dahuri, Kemat, David, Sugik, Sengkon dan Karta. hanyalah fenomena gunung
es atas ketidakadilan hukum di negeri ini. Lebih baik tidak memilih
sama sekali, daripada memilih pemimpin yang tidak tegas memperjuangkan
keadilan rakyat! Utang najis saja terus dibela, suara rakyat kecil
dipasung! Hukum dapat siran oleh kekuasaan dan baru muncul ketika
kampanye datang. Sesungguhnya dimanakah hukum itu? Ditangan penguasa
kah?
0 komentar:
Posting Komentar